Oleh : AJ SUHARDI
Disadari atau tidak, kepercayaan masyarakat (public confidece) kepada pemerintah mengalami ‘degredasi’ dari waktu ke waktu. Hampir setiap diskusi, baik diskusi tingkat elite yang mengedepankan analisa akademis maupun diskusi di sudut-sudut warung kopi, selalu mengangkat topik tentang kelemahan, kebobrokan, kekecewaan dan sejenisnya, terhadap penyelenggaraan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Cara pandang dan orientasi masyarakat terhadap keberadaan penyelenggara pemerintah sejak awal memang telah terlanjur salah ‘format’. Terutama akibat masyarakat di sejumlah kabupaten/kota selalu dimanjakan dalam budaya hidonistik melaui bantuan sosial, proposal kegiatan, proyek penunjukan langsung dan sejenisnya. Terlepas dari fenomena tersebut, para penyelenggara pemerintah di semua lini patut segera melakukan otokritik, minimal agar tidak terus-menerus terlena dalam buaian yang justru membunuh jati diri, karakter bahkan wibawa pemerintah secara luas.
Upaya untuk meningkatkan kepercayaan publik itu tergantung pada kemampuan penyelenggara pemerintah dalam memberikan pelayanan yang berkualitas dan memenuhi standar profesional. Untuk tujuan itu, mau tidak mau atau suka tidak suka, pejabat pemeintah di segala lini, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dituntut memiliki kompetensi teknis, akademis, leadership dan kompetensi etis yang dapat diandalkan.
Artinya, dalam penyelenggaraan pemerintah tidak lagi mengedepankan kedekatan-kedekatan emosional, kedaerahan, kekeluargaan, koncoisme, balas budi dan sejenisnya. Apalagi sampai menggunakan pendekatan (approach) yang salah, seperti melalui sogokan, upeti, jatah keuntungan proyek/kegiatan dan sejenisnya.
Mengenal Kompetensi Etis
Menghadapi perubahan yang cepat dengan peradaban teknologi informasi dan gaya hidup/perilaku aparatur dewasa ini, yang bertolak belakang dengan kondisi telah terlanjur mengedepankan kedekatan emosional, kedaerahan, kekeluargaan, koncoisme dan balas budi, membuat pejabat publik justru terkesan ‘linglung’ dan ‘mati suri’. Artinya, tanpa terobosan yang bergengsi dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik.
Apalagi ketika berhadapan dengan tututan masyarakat dalam peradaban kemajuan pola pikir masyarakat dewasa ini. Agar dapat mengembalikan jati diri, karakter dan wibawa pemerintah, maka sudah saatnya dibutuhkan sebuah penopang berupa kompetensi teknis, terutama dalam penalaran moral, manajemen nilai dan proses pengambilan keputusan dengan analisa serta implementasi yang tepat, yang menekankan pada kompetensi etis.
Mengapa kompetensi etis? Karena kepedulian pada tuntutan etika dapat mendorong responsifitas pamerintah terhadap kebutuhan publik (J.S.Bowman, 2010). Kompetensi etis menurut J.S.Bowman, meliputi manajemen nilai, pengembangan sekaligus penalaran moral, baik moralitas individu maupun publik, serta etika organisasi. Keterampilan etika yang dibutuhkan dalam pelayanan publik tersebut menekankan empat hal, antara lain;
Pertama, tingkat kesadaran penelaran moral sebagai dasar pengambilan keputusan yang etis. Kedua, kemampuan memahami etika sebagai sarana dalam menghadapi konflik atau persoalan yang ada. Ketiga, kemampuan menolak perilaku yang berlawanan dengan etika atau norma-norma yang berlaku. Keempat, mampu menerapkan teori-teori etika dalam semua lini kehidupan.
Apabila keterampilan tersebut dijadikan acuan, maka peletakan publisitas dan potitioning Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemeritah daerah tidak perlu melalui kegiatan ‘extravaganza’ yang berlebihan. Apalagi sampai menghambur-hamburkan dana untuk menyelenggarakan hiburan massa, mendatangkan artis dan sebagainya.
Tingkat kesadaran moral berkembang berkat pengaruh pendidikan keluarga, sekolah dan lingkungan pergaulan. Sedangkan tiga tuntutan etika lainnya dapat dipelajari, dilatih bahkan dibiaskan. Apalagi mengingat setiap individu mempunyai reaksi yang berbeda dalam menghadapi dilema moral, sehingga dapat dipastikan bahwa penalaran menunjukkan tingkat kesadaran moral seseorang.
Pengambilan keputusan pun biasa dinilai atas dasar cara dan acuannya, kepentingan diri, keluarga, teman dekat, kepentingan kelompok, kepentingan umum atau kerelaan berkorban dan lain-lain. Semakin tinggi tingkat kesadaran moral, semakin tinggi pula tingkat kepedulian pada kesejahteraan masyarakat dan ini diukur dari kemampuan menghadapi dilema moral. Kesadaran dan kemampuan penyelenggara pemerintahan semacam inilah yang terasa mendesak dibutuhkan oleh masyarakat.
Dalam setiap kebijakan publik, pertimbangan etis sering harus berhadapan dengan tekanan politik. Sebagai bagian dari transparansi, idealnya sebelum menerima jabatan tertentu, pejabat publik harus teruji kemampuannya secara teknis, akademis, leadership, etis dan sanggup membuat pernyataan tertulis tentang hubungan-hubungan yang berisiko konflik kepentingan.
Integritas publik yang terungkap dalam konsistensi sikap etisnya bukan sekedar masalah pengetahuan dan kemampuan penalaran moral, melainkan juga pembiasaan diri melakukan hal yang baik-baik. Ketika telah memiliki kompetensi teknis dan leadership yang memadai maka kemungkinan untuk memperkecil risiko dalam menghadapi dilema-dilema etis yang tidak perlu semakin besar.
Kompetensi etis dan leadership akan memberikan signal yang memadai bagi pejabat publik untuk bisa mengambil keputusan secara tepat, mengimplementasikannya secara benar dan bertindak sesuai etika publik. Maka tuntutan terhadap penerapan kompetisi teknis, leadership dan etika dalam profesionalisme pelayanan publik semakin mendesak dibutuhkan.
Terutama dalam menghadapi dilema ‘degradasi’ kepercayaan publik yang kian menurun. Jangan lupa, banyak teori menyebutkan bahwa akumulasi dari menurunnya kepercayaan publik itu merupakan potensi besar untuk timbulnya mosi tidak percaya, dalam hal ini tentunya kepada penyelenggara pemerintahan, baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat.
Kompetensi teknis merupakan inti profesionalisme pelayanan publik. Kompetensi ini mencakup pengetahuan ilmiah yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dengan hasil yang optimal, pemahaman yang baik terhadap segala peraturan yang terkait dengan keahlian dan bidang tugasnya, serta kemampuan memanajemen organisasi dalam institusi yang dipimpinnya, baik dalam merencanakan program, membagun dukungan dari stakeholders dan mengantisipasi resistensi.
Kompetensi teknis ini biasanya bersifat fungsional, makanya harus memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus. Di sinilah pentingnya upaya pengkaderan yang memungkinkan untuk dapat menangani tugas-tugas berat. Dewasa ini kompetensi teknis harus berkolaborasi dengan penguasaan teknologi informasi, agar pelayanan yang diberikan lebih efektif dan efisien. Tanpa menghiraukan perkembangan teknologi informasi, dapat dipastikan pejabat publik akan benar-benar ‘linglung’ dan ‘matisuri’.
Lain halnya dengan kompetensi leadership. Kompetensi ini lebih difokuskan pada kemampuan memanajemen organisasi dan memanajemen sistem sebagai hard skill dalam budgeting, sistem informasi, administrasi, proses perencanaan dan lain-lain. Sebagai soft skill-nya adalah kemampuan berkomunikasi, negosiasi serta kepemimpinan simbolis (Asmara JS, Dalam Sistem Informasi Manajemen, Modul Kuliah Fisip UT, 2018).
Secara sederhana syarat leadership itu tidak luput dari tuntutan kemampuan memfasilitasi kerjasama dan menengahi sekaligus menyelesaikan berbagai konflik kepentingan. Bagian dari kompetensi ini yang sering diabaikan adalah institutional knowledge atau pengetahuan tentang budaya organisasi, prosedur yang harus dijalankan, kesadaran akan rutinitas institusi dan penanaman identitas kolektif.
Hubungan antara kompetensi teknis dan kompetensi etis sering dirumuskan dalam bentuk dilema antara hasil dan proses. Tujuannya terletak pada penekanan agar sistem lebih fleksibel dan mampu menjawab berbagai kebutuhan pekerjaan. Evaluasi manajemen ini memungkinkan penyesuaian yang cepet, tepat dan efisien.
Walaupun demikian, kita pun harus sadar bahwa bagi sebagian kelompok kepentingan cenderung memasang alat kontrol birokrasi, sehingga tekanan pada tingkat proses sering merugikan atau menghambat hasil yang ditargetkan. Buktinya kepentingan politis masih merambah dunia birokrasi.
Tidak heran kalau pengkaderan, latar belakang pendidikan, pengalaman dan rekam jelak Public Servent dalam birokrasi terkesan dikesampingkan bahkan tidak terlalu diperlukan. Sementara tuntutan kompetensi etis sering ditantang untuk mewujudkan kualitas, efisiensi, penghematan, efektifitas dan sejenisnya.
Terlepas benar atau tidak, yang pasti dilingkungan birokrasi pemerintah tertentu sering terdengar anekdot tidak perlu terlalu cerdas, terlalu rajin dan berkualitas dalam berkerja, yang penting harus pandai ‘menjulurkan lidah’ atau dalam istilah lain harus pandai sebagai ‘penjilat’. Artinya kedekatan politis dan emosional lebih di kedepankan dibanding kompetisi etis seorang pejabat publik.
Padahal dengan Undang-undang nomor: 5 Tahun 2014, Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), Peraturan Pemerintah nomor: 11 Tahun 2017, Tentang Manajemen ASN dan berbagai turunannya, Pemerintah Republik Indonesia berupaya mewujudkan kualitas dan kompetensi etis pejabat publik, khususnya di lingkungan birokrasi. Implementasinya pun dilakukan melalui uji kompetansi (Talent Pool), seleksi terbuka untuk pengisian pejabat birokrasi (Assessment), berbagai pelatihan serta bimbingan teknis dan sebagainya. Namun disayangkan upaya tersebut selalu kalah dengan kepentingan politis dalam birokrasi.
Asmara Juana Suhardi, ST., S.IP.,M.Si adalah mantan Jurnalis, Dosen Fisip UT Pokjar Natuna.
Sumber : https://radarkepri.com/degredasi-kepercayaan-vs-kompetensi-pejabat-publik/
Sumber Gambar : https://radarkepri.com/wp-content/uploads/2019/04/foto-354×396.jpg