Home / Opini / Refleksi Reformasi, Demi Jati Diri Bangsa

Refleksi Reformasi, Demi Jati Diri Bangsa

Tanpa terasa tahun ini reformasi yang digagas para mahasiswa dan aktivis sosial tahun 1998 lalu telah berjalan 21 (dua puluh satu) tahun. Tepat 21 Mei 1998 lalu, di istana negara Jakarta, Presiden RI HM Soeharto yang nota bene sebagai sumber segala masalah ketika itu, menyampaikan pengunduran dirinya sebagai Presiden RI secara terbuka.

Sayangnya sampai kini cita-cita reformasi yang waktu itu menggebu-gebu, belum terwujud atau terimplementasikan di tengah-tengah masyarakat. Bahkan banyak yang berpendapat di beberapa sektor justru kondisinya semakin terpuruk ke jurang yang lebih parah dibandingkan kondisi pada rezim Soeharto.

Masalah bangsa semakin komplek dan rumit untuk dipecahkan persoalannya. Masa pencarian jati diri pasca reformasi yang berkepanjangan, membuat masyarakat bingung mau berbuat apa? mau menuju ke mana? mau mengacu kepada siapa?

Sampai-sampai cita-cita awal sebuah reformasi untuk menuju masyarakat yang madani, sejahtera, demokrasi, bermartabat, tanpa kesenjangan, adil, merata dan sebagainya kehilangan orientasi, bahkan kehilangan jati diri.

Tidak heran kalau sebagian kecil masyarakat seakan-akan mendambakan kembali kejayaan seperti rezim Soeharto, yang 21 tahun silam telah dirobohkan secara paksa. Setidaknya ada empat hal yang patut menjadi prioritas untuk menggalang revitalisasi cita-cita reformasi demi mengambalikan jadi diri bangsa ini.

Pertama, masalah korupsi. Kebejatan warisan kolonial ini memang sudah ada sejak rezim Soeharto. Namun yang membedakannya dengan korupsi era reformasi adalah pelakunya. Dulu koruptornya sebagian besar berasal dari elite politik tertentu, kini justru merata hampir di seluruh elemen, baik oknum eksekutif, oknum legislatif bahkan oknum yudikatif.nTragisnya intensitas prilaku bejat yang menyengsarakan rakyat itu tidak diatasi dengan supermasi hukum yang tangguh. Kondisi ini membawa dampak jenuh dikalangan masyarakat, apalagi menyaksikan regenerasi pelakunya berjalan dengan baik. Buktinya, beberapa tahun silam pernah populer seorang ASN muda bernama Gayus Tambunan, punya rekening gendut dan sebagainya. Itu baru fakta yang dapat terungkap dan masih banyak lagi oknum-oknum lainnya yang tidak kalah mengerikan. Apabila perilaku korupsi dianggap suatu hal yang biasa, apalagi para koroptor tertentu terkesan dilindungi, maka dikhawatirkan kebejatan itu benar-benar menjadi budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akibatnya, kita akan kehilangan jati diri di mata dunia.

Kedua, gerakan radikal. Meraknya gerakan yang meresahkan masyarakat akhir-akhir ini bahkan mengklaim diri atas nama agama, suku, kedaerahan, kelompok profesi dan sebagainya. Hal ini nyaris ’diharamkan’ untuk terjadi di zaman Soeharto dulu. Jangankan melakukan gerakan radikal, membuat perkumpulan yang sedikit berbeda arah saja disebut organisasi tanpa bentuk (OTB), yang dikonotasikan sebagai gerakan ekstrim kiri. Kegiatan intelegen ketika itu berjalan dengan baik, bahkan tembok bata pun seakan-akan dilatih untuk dapat berbicara. Dibalik sikap ‘diktator’ yang dimainkan kala itu, ada hikmah positip yang layak dipetik, yakni kedamaian masyarakat. Kelompok radikal akan berpikir jutaan kali jika akan berbuat, apalagi sampai anarkis dan menimbulkan kerusuhan. Di zaman Soeharto, stabilitas sosial menjadi agenda utama. Walaupun dikala itu pendekatan ‘kamtibmas’ yang dilakukannya terkadang menggoreskan noda dan kesan yang menyakitkan banyak orang. Namun positif potitioning dan citra bangsa tetap dikedepankan. Kini walaupun gerakan organisasi masyarakat telah diatur dengan berbagai regulasi yang mapan, namun tanpa tindakan tegas dan rill, maka kelompok separatis tetap akan tumbuh subur dan berkembang biak. Dikhawatirkan citra bangsa akan semakin terpuruk. Sehingga Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang beradab, punya jati diri, ramah-tamah, sopan-santun, akan tinggal sejarah. Generasi penerus perjuangan bangsa ini pun akan kehilangan karakter.

Ketiga, privatisasi media oleh para elite politik. Jika di era Soeharto media massa terhegemoni oleh pemerintah orde baru, maka di era reformasi ini terhegemoni oleh pemilik modal. Sehingga independensi yang dulunya merupakan syarat wajib atau aturan primer sebuah media massa, kini bergeser menjadi aturan tersier.
Ditambah lagi dengan sistem demokrasi yang menjamin kebebasan penuh terhadap media. Sehingga peran media menjadi sangat rentan dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan politisnya. Padahal karakteristik masyarakat Indonesia dewasa ini adalah masyarakat yang berbasis informasi. Artinya, mengkonsumsi sajian media massa menjadi sebuah kebutuhan. Jika media telah terprivatisasi oleh kepentingan politis, maka hal ini akan menimbulkan masalah baru. Dikawatirkan bahwa masyarakat tidak sekedar dijadikan konsumen media massa, melainkan akan manfaatkan menjadi komoditas dalam kepentingan politis dan penggalangan suara. Fenomena ini lebih mengkhawatirkan lagi, bila didonasi oleh kekuatan-kekuatan asing yang mengancam integritas bangsa.

Keempat, pudarnya ideologi Pancasila di kalangan generasi muda. Padahal Pancasila dikenal sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia yang pluralis. Kini butir-butir Pancasila sudah terkikis dan tidak lagi bersemayam di benak generasi kita. Kekerasan antar suku, sentimen antar agama, egoisme kelompok politik, gerakan radikal dan lain-lain menjadi bukti bahwa nilai-nilai Pancasila yang melambangkan cita-cita bersama bangsa Indonesia telah mulai dilupakan. Salah satu sebabnya adalah karena ditinggalkannya pendidikan yang berbasis Pancasila. Di zaman orde baru pendidikan Pancasila dijadikan salah satu kurikulum wajib di berbagai strata pendidikan. Kini dunia pendidikan terlalu sibuk mencetak pekerja yang tangguh, sehingga pendidikan karakter menjadi tereliminasi. Di tengah kegalauan seperti ini tentunya tidak mungkin untuk menyalahkan sejarah reformasi, karena kondisi yang terjadi sekarang adalah buah dari apa yang kita perbuat sebelumnya. Walaupun disadari bahwa kejadian ini tidak pernah dicita-citakan ketika membidani lahirnya reformasi, dua puluh satu tahun silam.

ASMARA JUANA SUHARDI, ST., SIP., MSi., Adalah Mantan Jurnalis, Dosen Fisip UT Pokjar Natuna.

Sumber : https://radarkepri.com/refleksi-reformasi-demi-jati-diri-bangsa/

Sumber Gambar : https://radarkepri.com/wp-content/uploads/2019/04/foto-354×396.jpg

x

Check Also

Degredasi Kepercayaan Vs Kompetensi Pejabat Publik

Oleh : AJ SUHARDI Disadari atau tidak, kepercayaan masyarakat (public confidece) kepada ...