Home / Artikel / Adat Perkawinan Melayu Tidak Lestari, Karena Tidak Punya Uang..?

Adat Perkawinan Melayu Tidak Lestari, Karena Tidak Punya Uang..?

Banyak kalangan mengatakan bahwa tidak lestarinya Adat Istiadat Perkawinan Melayu di Kabupaten Natuna, lebih disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakatnya dalam memenuhi keperluan pernak Pernik adat itu sendiri. Hal tersebut tersebut terungkap dalam dialog Opini Pubik RRI Ranai, Kamis, 9 November 2017. Thema tersebut menjadi perbincangan publik dalam acara yang disiarkan setiap pukul 7.30 pagi itu, tidak lain disebabkan oleh baru berkumpulnya pada perias pengantin atau Mak Andam), di Rumah Makan Sisi Basisir dalam acara Seminar, Work Shop dan Tata Cara Nikah Kawin dan Pakaian Melayuyang diselenggarakan selama dua hari oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Natuna, dari tanggal 6 sampai 7 November 2017.

Sesungguhnya pendapat yang disampaikan oleh pendengan RRI itu tidak semuanya benar, dan juga tidak semuanya salah. Karena sudah sejak dulu, para pemimpin dan tetua adat melayu sangat bertoleransi dengan kemampuan finansial masyarakatnya. Maksudanya orang melayu tidak pernah dipaksakan menyelenggarakan hajatan perkawainan atau hajatan apapun jugas namanya secara besar-besaran, diluar kemampuannya. Bukankah orang melayu membolehkan anak-anaknya menikah di Kantor Urusan Agama saja, yang penting syaria’tnya terpenuhi. Bukan hanya alasan tidakk punya uang, tetapi dengan bermacam-macam alasan lain, misalnya tidak ingin pernikahan putra-putri mereka terlalu riauh, atau mungkin kondisi hubungan putra putri mereka yang sudah sangat mendesak untuk segera dinikahkah, hingga menempuh jalan pintas dengan hanya menikah di Kantor Urusan Agama terdekat. Atau juga mungkin ada alasan lain. Tetapi tidak jarang pula pilihan untuk menikah di KUA memang disebabkan oleh karena tidak punya uang yang cukup untuk menyelenggarakan pesta perkawinan sesuai dengan ketentuan dan tahapan Adat yang sudah disepakati.

Menurut para pengamat atau pemerhasti Adat yang ada di daerah ini berpendapat bahwa sesunggunya semakin berubahnya tata cara Adat Nikah Kawin di daerah ini, lebih disebabkan oleh ketidak pahaman masyaraktnya terhadap Adat itu sendiri. Dan bahkan terkadang pelakunya membuat adat sendiri, dan dia sendiripun tidak mengerti dan paham akan makna dan maksud adat yang dia buat. Yang sederhana saja misalnya, ketika calon mempelai laki-laki diarak menuju ke rumah calon mempelai wanita untuk Ijab dan Qabul, bersama rombongan, ada dibawakan bermacam-macam jenis hantaran.

Menurut ketetuan Adat Melayu, prosesi hantaran itu sudah ditetapkan susunannya. Tidak sembarangan. Misalnya pembawa Tepak Sirih dan Bunga Rampai harus berada di depan, dan Sirihnya harus dalam posisi terlungkup. Karena semua pernak-pernaik hantaran yang dibawa memiliki makna filosopi tertetu. Tepak Sirih dan Bunga Rampai misalnya, dimaknai sebagai pembuka jalan. Sirih memiliki makna persatuan dan persahabatan. Sedangkan posisi srih yang tertelungkup dimaknai sebagai sebuah permohonan agar kehadiran mereka hendaklah diterima, yang ditandai dengan membalaik posisi sirih menjadi terlentang oleh pihak tuan rumah.

Susunan Hantaran Pengantin Melayu : Tepak Sirih, BUnga Rampai, Mahar, Kue dan buah-buahan, Pakaian yang dibuat dalam bermacam bentuk ragam hisan, serta kelengkapan sandang lainnya, seperti Sepatu atau Sandal, Tas, Alat Rias, dan lain-lain

Lalu apa yang sering kita lihat dalam beberapa prosesi arakan pengantin Melayu di daerah ini. Ada rombongan pengantin ketika hendak menuju kerumah calon mempelai wanita untuk menikah, terkadang tidak membawa tepak sirih, atau kalaupun membawa tepak sirih, tetapi sirinya dalam posisi terlentang. Shal ini jelas disebabkan karena ketidak tahuan mereka terhadap ketentuan Adat itu sendiri, dan bukan karena tidak punya uang. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran para pemerhati dan penggiat Adat di Daerah ini, khususnya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Natuna.

Contoh lain lagi misalnya, orang selalu beranggapan, ketika pelaminan yang sudah berwarna merah, kuning, hijau atau warna keemasan, itu sudah Melayu. Padahal belum pasti. Secara umum mungkin warna merah, hijau, kuning atau warna keemasan itu, adalah warna Melayu. Tetapi masih harus dipertanyakan, apakah Melayu Kepulauan Riau, atau Melayu Natuna. Bukankah Melayu itu luas sekali. Kita masih harus meneliti atau melihat dulu ornament ukiran yang ada pada pelaminan itu, apakah dia menggunakan ornament ukiran Melayu Kita atau bukan. Salah-salah, ornament yang terpasang dalam tirai atau property lainnya itu, adalah susunan Bunga Kantil yang menjadi milik orang Jawa.

Jadi bukan karena tidak punya uang Adat Nikah Kawin di Natuna menjadi luntur atau bahkan mungkin hilang, tetapi lebih disebabkan oleh ketidak tahuan kita terhadap Adat itu sendiri.

(Wahyu/H. Wan Suhardi)

x

Check Also

Seleksi calon Direktur Perumda Sri Serindit dan Air Minum Tirta Nusa

Untuk seleksi calon direktur Perumda Sri Serindit, klik DISINI Untuk seleksi calon ...