Issued by : H. Wan Suhardi/Wahyu Saputro
Sebagai satu hasil kebudayaan, baju Melayu Kepulauan Riau hendaklah indah dipandang dari jauh dan indah pula dipandang dari dekat. Inilah menurut pandangan mata dan hati. Ianya dibuat dengan baik dan mempunyai makna-makna yang terkandung dalam lambang-lmbang. Dengan demikian pakaian tersebut dapat mencapai predikat Sadu Perdana dan Tujuh Laksana, seperti yang telah penulis uraian dalan artikel sebelumnya.
Dalam Kitab Pengetahuan Bahasa yang ditulis oleh Raja Ali Haji menyebutkan bahwa : “Adapun pakaian orang melayu dari pada dahulu, sehelai seluar dipakai di dalam, kemudian barulah memakai kain bugis atau sutera, labuhnya hingga lepas lutut, kira-kira sepelempap. Kemudian barulah memakai ikat pinggang, terkadang di luar kain, dan boleh pula di dalam kain. Setelah itu barulah memaki baju “Belah Dada” namanya atau “Baju Kurung” kemudian disisipkan keris. Sebelah keris kepalanya keluar dan tiada meniarap dan sapu tangan, bertanjak. Adapun seluar terkadang seluar ketat berkancing kakinya. Syahdan pada penglihatan mataku sangatlah tampan orang-orang Melayu memakai cara Melayu yang dahulu-dahulu, tiada bengis rupanya. Adapun sekarang ini, yakni masa aku mengarang kitab ini, maka tiadalah aku lihat lagi pakaian orang Melayu seperti pakaian adat istiadat lama, bercampur baur dengan kaidah pakaian orang Inggris dan Holanda”.
Pada masa Raja Ali Haji menyelesaikan penulisan Kitab Pengetahuan Bahasa sekitar tahun 1858, ternyata sudah banyak bentuk pakaian Melayu yang terlupakan atau tidak dipakai orang lagi. Hal itu disebabkan adanya pengaruh Barat ketika itu. Adapun bagi orang melayu yang memakai Seluar Pantelon dan berbaju kemeja sebelah dalamnya dan berkain songket diatas lutut dan bersongkok, dinilai sangat janggal. Demikian menurut Raja Ali Haji.
Bagi orang Melayu, pakaian selain berfungsi sebagai penutup aurat dan pelindung tubuh dari panas dan dingin, juga menyertakan lambang-lambang. Lambang-lambang itu mewujukan niali-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.
Coba kita simak pesan para orang tua Melayu kepada anak cucunya :
Pakaian wajib menutup aurat
Pakaian terletak pada tempatnya
Pakaian melekat pada patutnya
Pakaian beragam pada maknanya
Mengandung adat dengan lembaganya
Mengandung tunjuk dengan ajar
Mengandung sifat dengan tabiat
Mengandung tuah dengan marwah
Elok pakaian menutup malu
Molek pakaian menjemput budi
Sanggam pakaian menjunjung adat
Mulia pakaian makna bermakna
Kaya pakaian ragam beragam
Dengan bersebatinya lambang-lambang budaya dengan pakaian, kedudukan dan peran pakaian menjadi sangat penting dalam kehidupan orang Melayu. Berbagai ketentuan adat mengatur tentang bentuk, corak (motif) warna, dan penggunaan pakaian itu sendiri yang sesuai pada tempat dan saatnya. Ketentuan-ketentuan tersebut diberlakukan untuk menentukan, mendidik, dan meningkatkan akhlak orang yang memakainya.
Setiap lambang mengandung makna tertentu. “Ada benda ada maknanya, ada cara ada artinya, ada letak ada sifatnya” misal :
Lambang dalam “Corak” ; Corak Semut, melambangkan sifat kegotongroyongan. Coraknya disebut “Semut Beriring”. Begitu pula dengan corak “Itik Pulang Petang” yang dikaitkan dengan kerukunan dan persatuan, tidak terpecah belah. Selanjutnya corak “Naga Berjuang” dilambangkan dengan lagenda tentang naga sebagai penguasa lautan, gagah berani, dan berani berjuang. Sedangkan corak yang bersumber dari bunga-bungaan dihubungkan dengan keindahan, kecantikan dan kesucian.
Lambang dalam “Warna”; warna kuning untuk keluarga Raja-Raja dan Bangsawan sebagai lambang kekuasaan. Merah untuk Umum sebagai lambang Rakyat sekaliannya. Hijau dan putih untuk Alim Ulama sebagai lambang agama yang dianut masyarakat, yaitu Islam. Biru untuk Orang Besar Kerajaan sebagai lambang orang patut-patut, hitam untuk Pemangku dan Pemuka adat sebagai lambang “hidup dikandung adat, mati dikandung tanah”. Hitam biasa juga dipakai sebagai warna kebesaran Hulubalang atau Panglima.
Lambang dalam “Cara Memakainnya”: untuk kaum perempuan misalnya. Untuk Gadis memakai Kepala Kain dibagian depan. Orang tua-tua atau istri para Pemuka Adat, Muka Kain atau Kepala Kainnya di samping kanan. Perempuan yang bersuami, tetapi belum tua dan bukan istri pemuka adat atau pemuka masyarakat, maka Muka Kainnya harus dibelakang. Sedangkan bagi para Janda memakai Muka Kain harus disamping kiri.
Pengaturan untuk kaum lelaki. Bagi kaum Bangsawan, Kepala Kain atau Muka Kainnya ditempatkan sebelah belakang berat ke kanan. Bagi Orang Besar Kerajaan, Kepala Kainnya sebelah belakang berat ke kiri. Bagi Putra Mahkota atau Putra Raja, kepala kainya sebelah kanan berat ke depan, bagi Datuk-Datuk Kepala Kainnya sebelah kiri berat ke depan. Bagi orang Awam, Kepala Kainnya dibelakang penuh. Untuk Raja, Kepala Kainnya boleh ditempatkan disebelah mana saja (bebas), tetapi lazimnya sebelah belakang berat ke depan kanan atau sebelah kanan berat ke depan (Drs. Abdul Malik, M.Pd).
Lambang dalam menempatkan Kedalam kain; bagi Orang Patut-Patut, kedadalaman kainnya sedikit dibawah lutut. Bagi Orang Muda dan Hulubalang kedalaman kainnya sedikit atas lutut. Bagi Orang Awam kedalaman kainnya labuh ke bawah. Jika memakai selempang, maka selempangnya harus disebelah kanan. Sedangkan menurut H. Tennas Effendy, semua orang laki-laki yang sudah berumur, memakain kain harus dibawah lutut. Semakin tua dia, maka semakin labuhlah kainnya.
Lambang dalam Jumlah; Serba Satu dan Serba Dua untuk Orang Awam. Serba Tiga untuk golongan Encik-Encik dan keluarga Orang Patut-Patut. Serba Lima untuk kalangan Bangsawan dan orang-orang besar kerajaan. Serba Tujuh untuk keluarga Dekat Sultan, dan Serba Sembilan untuk Sultan.
Pakaian melayu juga disesuaikan dengan fungsinya. Pemaknaan tersebut disebutkan dengan ungkapan berikut ini :
Pakaian menutup malu; yang berarti pakaian sebagai penutup aurat, menutup aib dan malu. Dalam arti yang luas, bila salah memakainnya maka akan menimbulkan malu, kalau salah letak, menimbulkan malu, kalau salah corak juga akan menimbulkan malu. Oleh karena itu pakaian harus dibuat, ditata dan dikenakan sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku di dalam masyarakatnya.
Pakaian mejemput budi; yang bermakna pakaian berfungsi untuk membentuk budi pekerti, membentuk keperibadian, membentuk watak sehingga si pemakain tahu diri dan berakhlak mulia
Pakaian menjunjung adat; yang bermakna pakaian harus mencerminkan nilai-nilai luhur yang terdapat dalam adat dan tradisi yang didup dalam masyarakatnya
Pakaian menolak bala; yang bermakna berpakaian dengan cara yang benar dan patut akan menghindarkan pemakainya dari balak dan mara bahaya atau malapetaka.
Lambang dan nilai-nilai luhur (terala) pada pakaian, terjelmalah keperibadian bangsa atau masyarakat pemakainya. Pakaian dalam budaya melayu harus mampu menunjukkan jati diri pemakainya.